Kehilangan Yang Tak Terasa

 

Sudah bisa kuprediksi semuanya; kamu kembali dengannya dan aku kembali dengan ruang hampa. Semua akan kembali pada sedia kala lagi, seperti biasa. Ada saja yang membuatku tidak bisa berlama-lama merasakan sebuah kisah yang menceritakan tentang 'kita'. Entah aku yang ingin mengakhirinya, atau orang lain yang ingin mengakhirinya. Siapa pun itu, pasti ada saja sebabnya dan takkan pernah lebih barang satu bulan saja. Ya, aku sampai menghitungnya.

Diatas keegoisanmu, aku menahan segala beban yang kutanggung seorang sendiri. Tidakkah kamu merasa bahwa dirimu egois? Sedikit saja, tidak? Atau begini saja, kamu memikirkan perasaan orang lain, tidak? Masalahnya aneh sekali. Saat aku mencoba menahan segala kemungkinan buruk yang akan terjadi pada kita, kamu malah semakin memberikan jalan untuk mewujudkan kemungkinan buruk itu. Dampak buruknya bukan hanya untukku saja, tapi untukmu dan untuknya. Dan jika ada tiga orang manusia terlibat dalam suatu kisah katakanlah percintaan, maka endingnya tidak akan ada yang benar.

Biar kuberikan gambarannya saja. Andai, aku terus menerima perasaanmu yang egois itu dan membiarkanku terbujuk rayu oleh segala manis dan kasihmu. Lalu, kita semakin dekat dan saling sayang. Apa tidak terlintas dari pikiranmu tentang kemungkinan pengulangan kejadian seperti  yang kamu lakukan pada kekasihmu terdahulu? Sekali pun itu bukan maumu seperti alasan yang kamu berikan saat meninggalkan kekasihmu demi aku, tetap saja, berada di posisi kekasihmu begitu menyakitkan. Ditinggalkan saat hubungan tengah berjalan selama bertahun-tahun, ditinggalkan saat sedang sayang-sayangnya. Bukan tidak mungkin, suatu saat nanti kamu akan melakukan hal itu padaku. Sepertinya alam semesta sudah bersahabat dengan egomu.

Manusia yang punya otak mana, yang membiarkan dirinya dikasihi oleh sosok yang sudah ada yang miliki? Yang sudah pasti takkan pernah bisa kumiliki? Mungkin sebagian jiwaku yang dikendalikan oleh hati, sangat menerima akan hadirmu itu. Tapi, sebagian jiwaku yang lain, yang dikendalikan penuh oleh logika, sangat amat menolak akan hadirmu itu. Diam-diam hati dan logika bertarung sengit diatas segala ketidaktentuan takdir yang penuh dengan misteri ini. Lantas, masihkah kamu menilai bahwa akulah yang salah?

Darimana kamu bisa secara sepihak menyimpulkan bahwa aku bodoh telah menyia-nyiakanmu? Bukankah aku bisa saja melontarkanmu pertanyaan balik bahwa kamu juga ternyata cukup bodoh meninggalkan seseorang yang jelas-jelas adalah kekasihmu, demi aku yang jelas-jelas baru saja hadir dalam hidupmu? Bodoh mana? Hai manis, semakin hari semakin aneh saja dirimu. Tak lagi bisa mencerna masalah dengan pemikiran yang jernih. Perasaan dulu kamu tidak begini. Apa mungkin karena aku yang belum begitu mengenalmu?

Apa pun keadaanmu sekarang, aku harap kamu dapat menjaga dirimu sebaik-baiknya. Biar begini, kamu tetap pernah mengisi hariku yang sepi, kamu pernah rela bersedia menemani sepanjang hari, kamu pernah memberikan barang yang aku sukai. Padahal, aku membiarkan itu semua terjadi karena aku rindu momen-momen itu. Sebagian dari diriku yang dikendalikan oleh hati lah, yang berperan atas semua yang terjadi selama ini.

Hingga datang saat aku kecewa atas sikapmu yang dipenuhi ego, aku mulai melihatmu dari sisi yang lain. Aku mencoba mengambil sikap yang terbaik ditengah egomu yang tak kunjung mereda. Aku jadi sering mendapati kamu yang tengah berbohong padaku. Darimana aku bisa tahu semuanya? Hai manis, aku bisa mendapatkan informasi dari mana saja. Kalau hanya mengandalkanmu yang jelas-jelas sering berbohong dalam hal kecil pun, tentu aku tidak mau. Semakin kutahan kesabaranku seperti semakin kubiarkan egomu membesar. Ingin sekali aku memberikanmu pelajaran agar kelak tak menimbulkan korban lagi atas egomu yang tak karuan. Seperti kepergian, misalnya.

Popular posts from this blog

Hujan Paling Lama di Dunia

Mengenal Diri Sendiri

Maaf