Pembenci Puisi
Puisi adalah omong kosong. Perihal memilih dan memilah kata yang memaksa untuk memiliki makna. Padahal ia tiada berguna. Puisi hanyalah kiasan semata. Tak lebih dari sekadar angan-angan belaka. Ia hidup dalam ilusi dan mati tanpa sebuah arti.
Semua kembali, pada siapa ia dibaca, pada siapa ia dinikmati. Teruntuk mereka yang begitu menghargai kemampuan baca dan kegunaan otaknya, serta mengakui keberadaan nurani semasa hidupnya. Puisi adalah sebentuk makna, arti bahkan jiwa yang berwujud deretan aksara. Ia takkan bisa diterima oleh mereka yang tidak mengakui keberadaan nurani, oleh mereka yang tidak diizinkan semesta untuk berliterasi. Sang puisi juga sebenarnya tidak rela. Seluruh tubuhnya yang diciptakan segenap ketulusan serta pula keajaiban. Dilihat begitu saja oleh sepasang mata yang hanya bisa melihat tanpa bisa membaca apa yang terkandung didalamnya.
Omong kosong! Itu hanya tentang apa yang telah kau pilih. Setiap orang berhak memilih. Sesuai dengan keinginan mereka. Suka atau tidak, ya urusan mereka.
Maka, biarkan aku menyukai apa yang aku suka. Itu urusanku.
Aku dulu pernah suka berpuisi. Kala itu ada seorang wanita yang semestanya bersinggungan denganku yang kemudian terjadi lah pertemuan diantara kami. Aku terbang dibuatnya, melintasi gugusan awan sampai ke ujung cakrawala, menyaksikan proses terbentuknya senja, menikmati keindahan aurora dan bagaimana ternyata cakrawala hanya ilusi optik semata. Sekembalinya di bumi, aku jadi selalu ingin berpuisi. Puisi pertama, kubuat hampir semalaman penuh. Kutuliskan hanya teruntuk dirinya seorang. Aku puas walau hanya dibalas 'terima kasih atas puisinya' olehnya. Semangatku semakin membara untuk mendapatkannya. Lalu, kubuatkan lagi puisi semalaman penuh lagi. Kutuliskan hanya teruntuk dirinya seorang yang mulai kuharapkan. Ia mulai menyukainya, ada perkembangan pada tubuh-tubuh yang terbentuk oleh deretan aksaraku itu. Hatiku seperti menemukan setitik cahaya. Lalu tiba pada suatu malam dimana aku benar-benar bersugguh-sungguh menuliskan puisi teruntuk dirinya seorang yang mulai kusayang. Seperti ada ruh yang kukirimkan kedalam puisiku. Lalu, ia kemudian jatuh cinta pada puisiku.
Lalu, apa yang membuatmu dikatakan 'pernah' suka puisi?
Sayang, ia tidak sampai jatuh ke pelukanku, hanya sebatas itu. Ia tidak mau kumiliki oleh sebab yang tidak pasti. Sampai ia takkan pernah kumiliki selamanya karena ternyata ia pergi, meninggalkan aku yang dulu yang telah mati, mengubah aku yang sekarang yang trauma akan puisi. Semesta kami tak bersinggungan lagi. Entah oleh sebab apa, banyak yang berkata ia menghilang ditelan bumi.