One Day Trip (Part I)


Sekitar pukul 11 siang, akhirnya kami sampai di tempat tujuan pertama. Curug Pelangi, Cimahi. Dengan segala rasa pegal yang terasa, saya keluar bus sambil merenggangkan badan. Krek. Saya menyapu pandangan ke segala arah, disana terdapat banyak sekali keindahan. Tak mampu saya jelaskan, hanya bisa bersyukur akan panorama alam yang menenangkan. Udara disini juga benar-benar bersih jauh dari polusi. Saya mencoba menghirupnya, sungguh menyegarkan dada. Mungkin semua orang yang tinggal di kota yang berpolusi akan merasakan hal yang sama disini. Sebuah perbedaan kualitas udara yang jauh berbeda.

Tepat diloket pintu masuk, kehadiran kami disambut oleh monyet-monyet penghuni asli Curug Pelangi. Saya sempat terkejut, namun setelah jaga jarak dan was-was dari jauh, sepertinya mereka tidak akan menganggu. Mungkin mereka hanya penasaran, siapa yang datang ke tempat tinggal mereka. Malah sebenarnya kami lah yang mengganggu mereka. Maafkanlah kami wahai monyet penghuni asli Curug Pelangi. Kami hanya meminjam tempat kalian sebentar saja, karena ditempat kami hanya ada gedung-gedung tinggi, bukan panorama alam yang cantik seperti ini.

Setelah masuk ke area wisata Curug Pelangi, kami berniat untuk makan siang. Makanan sudah dibagikan rata dan semuanya sudah kebagian. Berniat ingin makan ditempat yang memiliki view langsung ke arah air terjun, kami malah diganggu oleh monyet-monyet selaku tuan rumah. Kini mereka tak lagi mengawasi kami dari jauh, namun benar-benar mendekat kearah kami. Kami sebagai tamu memang sudah seharusnya tahu diri, setidaknya memberikan mereka sedikit makanan yang kami punya. Akan tetapi ada yang berkata bahwa jika kami memberikannya, mereka malah akan terus mengikuti kami. Kami pun urung dan berusaha makan diselimuti keresahan. Inilah momen yang sekiranya terjadi hanya sekali dalam hidup. Tak apa, cukup menantang. Untung saja saya punya kemampuan makan cepat.

 

Sekitar pukul 12 siang, kami semua turun kebawah untuk menikmati secara langsung dan dekat apa itu curug pelangi. Kami semua punya niat untuk berenang disini. Itulah kenapa saya membawa sempak pengganti. Tak sabar ingin menceburkan diri, saya, Dendi dan Akbar telah lebih dulu turun diantara rombongan lainya. Akbar, wajahnya saja yang jantan, soal berhadapan dengan monyet, takutnya bukan kepalang. Maka itu saya disuruh untuk berjalan paling depan, diikuti Dendi dan Akbar paling belakang.

 

Butuh melewati puluhan, bahkan sepertinya ratusan anak tangga untuk bisa benar-benar bersentuhan langsung dengan curug pelangi. Akan tetapi, disepanjang perjalanan menuruni anak tangga, kami disuguhkan pemandangan yang benar-benar menggoda. Biar medan yang ditempuh susah, namun tujuan yang dicapai seolah membuat kita menolak untuk lelah. Langkah demi langkah kami lewati, sampai akhirnya kaki saya bisa benar-benar merasakan sejuknya aliran air yang berasal dari atas sana. Sungguh tidak sia-sia. Bahkan, dari pinggir kolamnya saja, kesejukannya sudah begitu terasa.

 

Karena Curug Pelangi, jiwa saya kembali sempurna. Meski sebenarnya Curug Pelangi sedang tidak dalam performa terbaiknya (tidak seperti foto digoogle); mungkin karena lama tak dicium hujan sehingga volume airnya kurang deras. Tak apa, pikiran saya masih bisa ditenangkan olehnya. Tak ada beban selain tenang dan tenang. Angin yang berhembus harmonis begitu bisa membawa deraian air ke segala arah yang dia mau, ke tubuh saya yang lelah akan kota. Detik ini, saya rasakan detik tanpa rutinintas tanpa batas, detik yang tak ingin saya tinggalkan. Saya merasa diri saya adalah air. Mengalir tak tentu arah, entah kemana akan bermuara. Namun saya ingin terus begini, hanyut dalam tenteram, jauh dari temaram.

Tak lupa, saya langsung meminta Dendi untuk mengabadikan momen ini. Secara bergantian, kami saling meminta tolong untuk diambilkan gambar. Berkali-kali sampai sebagus mungkin yang kami dapat. Yang membuat saya kesal, foto Dendi selalu saja jauh lebih baik daripada foto saya. Disini ada dua faktor yang mempengaruhinya. Antara kesalahan modelnya atau kesalahan yang mengambil gambarnya. Dan saya yakin, Dendi tidak bisa menggambil gambar dengan baik! Saya-nya mah baik-baik saja. Atau bisa juga saya-nya yang kurang mengerti bagaimana cara difoto? Entahlah. Yang penting saya bisa merasakan surga alam ini.

 

Puas berfoto, saya mengajak teman-teman untuk segera ganti baju. Ya, kita berenang! Saya tak suka dingin, namun jauh-jauh kesini hanya untuk foto sangatlah rugi. Nggak nyebur, nggak apdol. Saya segera melepas celana jeans lalu mendekat kearah kolam. Ada jeda lama untuk saya benar-benar turun kekolam yang sangat dingin itu. Antusiasme saya yang tinggi diawal, kandas setelah menyadari suhu air yang begitu dingin. Setiap kali saya mencelupkan kaki, spontan saya langsung mengangkatnya kembali. Dingin sekali! Rekan-rekan saya mendukung saya, namun mereka takkan berhasil, ini benar-benar keputusan tersulit. Nyebur, enggak, nyebur, enggak.

Dendi, tanpa pikir panjang langsung nyebur saja layaknya kolam renang biasa. Bahkan tanpa baju, dia begitu menikmati kolam yang dinginnya minta ampun itu. Saya juga turut serta melepas baju. Saya pikir kalau memakai baju lalu bajunya basah, itu akan tambah dingin. Tapi lihat, Dendi begitu asyik berenang, bahkan dia menyelam-nyelam tak kenal dingin. Tak terbayang bagaimana dinginnya. Sementara Akbar, dia tampak bersemedi diujung kolam, diatas bebatuan paling besar diantara bebatuan lainnya. Konyol memang, dia menganggap dirinya seperti orang sakti. Berhadapan dengan monyet saja takut. Ada satu lagi teman saya dari Brebes, Aji, dia tampak masih rapih dengan celana jeans dan atasan flanel kotak-kotak. Baru sembuh adalah alasan yang dia berikan setelah ditanya kenapa tidak nyebur. Riki, satu-satunya teman saya yang kesini bawa pacar, baru kelihatan batang hidungnya setelah menghilang diantara rombongan lainnya sejak makan siang tadi. Darimana saja mereka berdua?

Sampai pada rombongan yang masih pada diatas tiba, saya masih juga menimbang-nimbang. Rombongan saya yang baru datang tadi sangat membawa kebahagiaan ditengah hati saya yang bimbang. Rujak buah! Ya, saya baru ingat kalau ada rujak yang sengaja disiapkan dan sempat patungan goceng-goceng untuk perjalanan ini. Mereka membawa kepinggir kolam, lalu meletakannya begitu saja diatas bebatuan besar. Mereka yang sedang asyik berenang satu persatu menepi, sekadar mencicipi rujak buah lalu berenang kembali. Sambalnya begitu aduhai, pedas manis bikin ketagihan. Ditambah beraneka macam buah-buahan yang rata-rata memiliki rasa yang asam. Apalagi buah mangga apel. Membuat siapa saja yang memakannya merem-melek karena tingkat keasamannya yang tinggi.

Pada akhirnya saya nyebur juga. Tidak enak, teman-teman yang lain hampir semuanya nyebur. Meski hanya sebatas pinggang saja, tapi dinginnya benar-benar membekukan seluruh badan saya.  Jangankan nyebur, berada disekitar kolamnya saja sudah terasa dinginnya. Kali ini, saya benar-benar tidak kuat, mekanisme tubuh saya sangat-sangat kesulitan dalam mengatasi suhu dingin. Lekas saya menepi ke bebatuan untuk menyelamatkan diri dari ancaman hipotermia. Lebay, ya. Hehe.


Curug Pelangi semakin sempurna saat ada panggilan video masuk di whatsapp saya. Smartphone saya dititip oleh teman saya yang sama sekali tidak ingin tersentuh air, kebetulan saya sedang ingin mengirim foto ke Dendi yang tak sabaran ingin foto-fotonya segera diterima, untuk kemudian diupload di Instagram. Hadeh. Saat itu juga, panggilan video seorang gadis dari Jakarta masuk. Saya menekan tombol menerima. Tak lama kemudian, wajah lucu dari seorang gadis muncul memenuhi layar smartphone saya. Kotak kecil dilayar pojok kanan bawah terdapat gambar saya sendiri. Gadis itu tersenyum. Senyumannya masih terlihat manis walaupun gambar yang ditimbulkan kurang jelas. Sinyal disini memang rada susah. Bahkan suara-nya saja putus-putus. Saya mendekatkan speaker ke telinga saat gambar semakin pudar. Tak ada jawaban. Tak lama muncul notifikasi bahwa panggilan telah terputus.

Pemandangan paling nyentrik terjadi tatkala Rifki mengeluarkan kompor mini beserta gasnya yang juga mini. Biasanya peralatan itu digunakan untuk para pendaki. Tapi, kan, Rikfi tidak sedang mendaki. Dakian, iya. Ini kan hanya ke Curug. Tak apa, dengan keberadaan peralatan masak mini itu, memudahkan kami semua untuk sekadar ngopi dan juga nge-mie. Saya sempat mencoba indomie buatan Rifki yang baru saja matang. Rasanya masih sama seperti indomie pada umumnya; lezat. Hanya saja sensasinya berbeda. Ditambah kopi buatannya, rasanya tak jauh berbeda seperti ngopi diwarkop 99 belakang tempat kami bekerja.

Sekitar pukul 3, kami satu persatu meninggalkan kolam dan menyudahi segala ketenangan yang ada. Saya yakin, tak ada satupun yang benar-benar niat untuk meninggalkan tempat ini selain ingin menggunakan waktu sebaik-baiknya. Wajar, one day trip. Sebelum pergi meninggalkan kolam, saya sempat membuat video insta-story diiringi alunan lagu dari fourtwenty. Judulnya aku tenang, senada dengan tempatnya. Berikut video-nya;


Belum usai liburan kami hari ini. Curug Pelangi adalah destinasi pertama kami dari dua destinasi yang telah kami rencanakan. Selanjutnya, akan ada Orchid yang mengisi liburan kami hari ini. Semoga cuaca tetap mendukung dan lancar sampai disana. Katanya, akan ada destinasi tambahan; alun-alun Bandung. Namun, kepastiannya masih menggantung. Jika waktunya masih tersedia dan memungkinkan untuk kami terus berjalan, maka akan ada destinasi lanjutan.

Toilet seketika menjadi ramai. Saya sendiri masih menahan dingin, menunggu rekan-rekan yang masih silih berganti menggunakan toilet untuk ganti baju. Dibelakang toilet, Rifki kembali mengeluarkan kompor andalannya. Bedanya, disana dia baru bisa blak-blakan kalau semua yang dia bawa adalah untuk dijual. Bisnis yang menyenangkan sekaligus merepotkan. Dia memberikan tarif pada setiap makanan dan minuman yang dia bawa. Contoh; kopi harnya 3 ribu, sementara popmie 8 ribu, ada juga mie ramen yang dihargai 10 ribu rupiah saja. Sambil menunggu rekan-rekan lainnya selesai ganti baju, beberapa diantara mereka ada yang membeli popmie dan juga ramen.

Panggilan video kembali masuk. Kali ini sinyal lumayan bisa saya dapatkan. Saya menerima panggilan video tersebut. Kembali, wajah lucu dari seorang gadis muncul memenuhi layar smartphone saya. Gambarnya jelas, tak sepudar sebelumnya. Senyumannya menjadi lebih manis. Dia mengatakan bahwa dirinya tak mau kalah dengan saya yang sedang liburan di Bandung. Ternyata dia sedang liburan juga, meski masih disekitar Jakarta. Saya bertanya, dia pergi ke PIK bersama siapa? Sama tante, katanya. Ya, sudah. Kami pun saling mengucapkan have fun. Sampai akhirnya sinyal mengganggu komunikasi kami lagi dan akhirnya terputus kembali.

Setelah semuanya selesai ganti baju, kami pun pergi meninggalkan Curug Pelangi dan bersiap pada destinasi selanjutnya. Kami kembali melewati anak tangga yang jumlahnya kelewat banyak itu. Jika tadi turun, sekarang saatnya naik. Kaki saya sempat kram setelah baru melewati beberapa anak tangga. Teman-teman saya tidak ada yang peka. Saya memanggil Aji berkali-kali, dia hanya melihat saya tanpa mendengar jelas apa yang saya katakan. Dendi, juga sama demikian. Sampai teriakan saya habis dan saya hanya bisa melambai-lambaikan tangan, akhirnya mereka semua peka. Kram dikaki saya begitu menyakitkan. Nyeri tak tertahankan. Beberapa rekan saya yang sedari tadi masih dibawah akhirnya peka apa yang saya alami saat berpapasan dengan saya. Saya diberitahu agar duduk dulu sambil meluruskan kaki. Syukurlah, beberapa menit kemudian kram saya hilang. Dan kami pun lanjut beranjak pergi dari tempat ini dan sedikit ngomel pada Aji, Dendi dan semuanya yang tadi tak mempedulikan saya.
Part II nyusul. Hehe

Popular posts from this blog

Hujan Paling Lama di Dunia

Mengenal Diri Sendiri

Maaf