Banjir Tanda Berakhir
01/01/2020
Tahun baru lalu diwarnai dengan meledaknya kembang api tepat di ulu hati. Kau bersenang-senang dengan dia yang ternyata sudah lama dihati. Lantas apa selama ini yang kita jalani? Ralat, tidak lama. Tapi cukup memancing harapan. Lantas apa isi dari omonganmu bahwa terasmu belum pernah diduduki oleh dirimu dan kekasihmu? Lantas apa arti dari sandaran yang kau lakukan setiap kali merasa lelah?
Hujan turun begitu deras malam itu. Baru kali ini aku tertidur satu tahun lamanya. Saat aku terbangun, tahun 2020 baru berlangsung selama satu jam. Pukul 1 pagi. Hujan masih turun begitu deras. Ajakanku semalam tak berbalas. Ajakan untuk bisa membawamu keluar menikmati pergantian tahun. Betapa terkejut saat melihat beberapa story yang cukup melukai hati. Ini bukan pergantian tahun, ini pergantian hati. Ini bukan pesta kembang api yang meledak dilangit, ini pesta kembang api yang meledak tepat di ulu hati.
Mataku menolak tertidur hingga subuh menjelang. Jelas, aku sudah cukup tidur. Ditambah kenyataan yang membuatku jatuh tersungkur. Perasaan tidak enak muncul saat menyadari hujan belum juga berhenti. Kemudian aku pun mencoba buka pintu hati untuk yang baru berharap tidak ada lagi kisah yang berakhir haru. Alangkah terkejutnya, melihat air yang sudah meninggi, meski genangannya tak sepedih dipelupuk mata.
Aku jadi teringat pada si pendatang yang pernah datang. Menegaskan penilaianku tentang mereka yang bukan asli Kota. Sebenarnya aku benci menyamaratakan penilaian ini, tapi kenyataannya memang sangat-sangat begini. Bahwa mereka tak pernah mau terbuka dalam urusan hati. Mungkin mereka memang hidup sendiri, sehingga mereka terbiasa bebas dalam bergerak, termasuk urusan perasaan. Tak kusangka, aku terjerembab dilubang yang sama. Seperti tiada kapoknya, seakan pura-pura lupa pada kesalahan yang pernah menimpa.
Hari-hari selanjutnya aku lalui seperti sedia kala. Aku mencoba baik-baik saja tanpanya, persis saat sebelum ia ada. Tapi rasanya begitu mengganjal. Aku kurang rela, tapi bukan berarti tidak ikhlas. Pasalnya, ia cukup meyakinkan. Meski diam-diam aku juga menyimpan takut yang mendalam. Tapi aku mencoba terbuka, menerima dengan pikiran baik berharap hasil yang didapat juga setara. Lagi-lagi aku lengah perihal masalah berharap. Aku lemah dalam urusan menganalisa resiko yang akan terjadi kedepan. Aku terlalu asyik bahagia, hingga lupa bagaimana suatu saat nanti jika roda berputar dan membawaku larut kedalam kesedihan.
02/2020
Sore itu aku menemukan pemulih. Ia berdiri ditengah-tengah buku, disekelilingi ilmu. Kuharap dia sosok yang pintar, yang dapat membedakan mana yang datang sebatas basa-basi, mana yang datang bersama hati. Kuharap dia sosok yang pintar, yang dapat membedakan mana tindakan yang salah dan mana tindakan yang benar. Perawakannya paling beda dari kebanyakan wanita. Tinggi, manis dan aku tidak tahu kenapa bisa semanis itu.
Langit yang hampir tak lagi terang hanya sekilas membentuk siluet tubuhnya. Ia berjalan dibawah gelapnya malam yang masih muda. Lampu jalanan belum menyala, tapi hatiku tak butuh lampu untuk berbunga-bunga. Aku kenal betul bentuk tubuh itu. Dan ia tak menyadari itu. Ia memang tak pernah melihatku. Aku pun menyaksikannya. Sebuah penampakan yang cukup indah, yang hanya kutatap lewat punggungnya yang kecil tapi tak kenal menyerah, seperti menanggung beban dari panah asmara yang datang dari berbagai arah.
Aku tak berteman kopi dalam menghabiskan sore. Aku masih berteman dengan punggungnya, berbayang wajahnya dan mendamba senyumnya yang begitu terlukis, bunga-bunga akan bermekaran, burung-burung bernyanyi, semua pohon akan menari dan jiwaku seakan bersyukur. Keinginan-keinginan konyol pun menyeruak.
24/02/2020
Siapa sangka. Malam ini kita bersama. Bernyanyi dan tertawa. Aku dengan cinta, dirinya entah dengan apa. Laguku tak banyak ia tahu. Sehingga tak apa jika lagunya yang aku mainkan, yang kebanyakan aku tahu. Dibawah rembulan yang berukuran penuh itu, jiwaku rasanya utuh. Nyaman yang hampir terlupakan.
Aku akan mempertahankannya. Aku akan melindunginya. Aku akan membuatnya terus tersenyum dan bahagia. Sehingga aku akan menjadi orang yang paling beruntung seluruh dunia.
Satu malam yang panjang. Satu malam yang ia kenalkan dirinya sebagai sepenuhnya dirinya, begitu pun aku. Aku masih dengan cinta, dirinya entah dengan apa. Saling bertanya, saling menjawab dan saling tertawa. Betapa bahagia; saat ternyata bahagiaku juga termasuk bahagianya.
25/02/2020
Semalam hujan dari tengah malam. Dan aku terlalu pulas tertidur, mungkin karena saking bahagianya. Saat terjaga, hujan masih deras. Seperti de javu, aku terbangun dengan perasaan yang tidak enak. Aku buka pintu, genangannya cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dari tragedi tanggal 1. Segera aku cek pelupuk mata. Kering. Aku tenang. Aku berharap semoga tidak terjadi apa-apa, dalam hal banjir dan perpisahan. Sisa-sisa bahagia semalam masih begitu terasa. Tapi, aku tak bisa menyembuntikan keterkejutanku. Semakin lama hujan semakin mengganas. Air pun masuk kedalam rumah.
03/2020
Kami memang jarang bertemu. Maka dari itu pesan singkat cukup perlu. Namun sayangnya, sejak banjir itu, ia menghilang. Setiap chat tak kunjung membiru dan kejadian tersebut akan bertahan selama berhari-hari. Bahkan sampai saat ini. Tidak, dia tidak hanyut diterjang banjir. Beberapa pertemuan terjadi begitu singkat, hanya sebatas papasan. Kenapa dia malah semakin cantik? Jiwa ini semakin tidak berkutik. Aku membiarkan diri ditelan kenyataan, bahwa ia memang tak pantas untuk dijadikan kenyataan. Meski sempat melewati nyanyian semalaman.
Comments
Post a Comment