End Of Contract

Dua tahun sudah saya melayani masyarakat Kelapa Gading yang ingin mencari peralatan alat tulis, perlengkapan kantor, tas dan benda-benda perintilan lainnya. Dua tahun sudah saya mengabdi pada sebuah toko jendela dunia. Dua tahun sudah saya bikin anak-anak orang baper tapi tidak pernah saya berikan kepastian. Maaf ya. Dua tahun sudah terlewati. Dan tiba saatnya saya akhiri semua.

Tak terasa ya? Hilih, tak terasa darimana. Terasa sekali. Capeknya. Tekanannya. Dan yang paling penting, pelajarannya. Ya, bagi orang-orang loyo, lemah dan sok jiwanya paling mahal, mungkin capek dan tekanan adalah sesuatu yang haram. Latihan men latihan! Latihan biar nggak jadi orang yang letihan.

Ya, bagi saya ini cukup terasa. Semua terlalu terasa untuk kenangan-kenangan indahnya (anggap saja nggak ada yang buruk). Semua terlalu terasa untuk kehangatan teman-temannya (anggap saja nggak ada yang bermuka dua). Dan mati rasa untuk segala hal-hal buruk; pulang mundur dan lain sebagainya. Ya, namanya juga kerja. Ya, lupakan saja. Ya, anggap saja itu tidak pernah terjadi. Mungkin pernah, tapi mungkin itu hanya kekhilafan manusia saja. Namanya juga manusia. Ambisius. Apalagi yang bukan sejajar garis peranannya. Beh! Maha Benar!

Dua tahun bisa dibilang sebentar, bisa dibilang lumayan lama. Daripada saya capek menjelaskannya sampai berbusa, lebih baik coba tanya pada rak-rak yang tampak mati tapi sebenarnya bisa mendegar itu, apa-apa saja yang telah saya lewati disini. Kiranya benda-benda misterius itu mengetahui semuanya. Karena sejauh yang saya alami, semua kejadian disini selalu diketahui oleh khalayak ramai. Misal, si A sedang dekat dengan si B. Maka, terjadilah percakapan yang membicarakan seputar mereka. Tapi percayalah, cepat atau lambat, semua yang ada disana akan mengetahuinya. Lantas siapa pelakunya jika bukan rak-rak yang mati dan brengsek itu? Yang jumlahnya ratusan dan 133 untuk divisi non booknya itu (karena saya yang membuat denahnya).

Jadi anak baru disini tidak mudah, versi saya waktu jadi anak baru tahun 2017 akhir. Memiliki senior-senior yang tentunya sudah lebih dewasa dan berpengalaman, harus membuat saya menyesuaikan diri lebih cepat. Saya juga lumayan kesulitan dalam menghafal area. Saya bukan penghafal yang baik, jujur saja. Memori jangka pendek saya kurang baik. Tapi soal memori jangka panjang, saya kerap dibilang manusia yang sulit move on hanya karena masih mengingat mantan. Padahal semua mantan pun saya ingat, sekalipun mantan yang paling nyakitin! Haha. Ya, ingatan jangka panjang. 

Didivisi saya ini, banyak sekali manusianya. Ada yang disebut sebagai Tuan Rumah, ada pula yang disebut Pembantu. Tak seperti sinetron-sinetron Indonesia kebanyakan, Pembantu disini lebih berani. Tuan Rumah disini ramah sekali, banyak iya-iya-nya dan manggut-manggut saja. Mungkin karena jumlah Pembantunya banyak. Dan diperjalanan dua tahun ini, saya mengetahui kenapa itu bisa terjadi. Faktor penjualan dan umur yang sudah pada tua-tua.

Kemudian saya diberikan jobdesk diluar yang seharusnya. Meski bagi perusahan merupakan kegiatan sekitar dua tahunan sekali, bagi saya, ini hal yang baru. Berhubung saya mahasiswa Komputersasi Akuntansi yang gagal, setidak-tidaknya saya tahu sedikit apa itu definisi SO. Stok Opname. Toko Buku dan Stationery. Barangnya banyak. Hal-hal barusan menari-nari didalam kepala saya sampai kemudian terbentuk menjadi satu menjadi bayangan lelah yang teramat sangat karena harus menghitung satu persatu barang yang sebegitu banyaknya. “Dapat uang.” Oh, oke siap. Mendengar kabar demikian, “Toko manalagi yang perlu di SO?”

Beberapa hal yang saya sukai dari SO selain mendapatkan uang adalah, ya pengalaman. Jika jawaban pengalaman terlalu klise, mari saya jabarkan satu persatu. Pertama, saya mendapat teman baru. Melakukan suatu kegiatan ditempat baru haruslah membuat kita menjadi pribadi yang lebih terbuka. Agar kegiatan kita berjalan dengan lancer dan menyenangkan. Menambah wawasan pula. Sejauh ini, teman-temanku jumlahnya banyak dari berbagai tempat di Jabodetabek. Selanjutnya, saya mendapat pacar baru. Berada ditempat baru dengan wajah-wajah baru, membuat kita berpotensi untuk jatuh cinta. Eh, sebentar. Ralat. Bukan pacar. Tidak ada perempuan yang akhirnya saya jadikan pacar sepanjang riwayat stok opname. Ujungnya hanya berakhir dipendekatan saja. Selanjutnya, saya lebih tahu banyak tempat dan jalan. Meski sekarang sudah ada maps, tapi maps tidaklah mengenal pola. Semenjak SO, saya jadi lebih tahu.

Sesekali saya ditempatkan dipameran. Ya, demi meraup omset yang maksimal, tentu kita perlu menebar bibit persediaan dan sumber daya manusia yang kredibel ke segala sisi. Wqwq. Saya dilempar ke pameran AEON Jakarta Garden City. Pernah pada suatu bulan, jadwal saya ditoko hanya seminggu dua kali saja. Sisanya Stok Opname + Pameran. Waduh, kala itu, saya sempat gundah gulana karena jadi jarang bertemu dengan gebetan saya. Hehe.

Pameran terbaik dan yang paling mengesankan adalah pameran Pekan Raya Jakarta. Tentu! Dari sewaktu saya belum kontrak 2 tahun, saya pikir pameran adalah hal yang sangat membosankan. Tidak ada teman. Tidak seramai ditoko. Seperti dibuang. Tapi pameran PRJ mematahkan pradugaku barusan. Disana selain bekerja, saya bisa menikmati kemeriahan pameran tahunan yang memang selalu ramai itu. Justru saya nagih! Untung jadwal saya lebih banyak disana. Bukan berarti tidak professional. Dibooth kami selalu ramai. Tak ada kesempatan untuk santai-santai. Kita pun baru bisa menikmati PRJ saat memasuki jam-jam istirahat. Saya selalu mampir ketempat makan yang entah memang dikhususkan untuk karyawan atau bagaimana, tapi disana yang makan karyawan semua. Mata saya selalu bergerak-gerak auto fokus setiap disana. Banyak SPG.

Dipameran Pekan Raya Jakarta, libur pun saya masuk karena memang dibuatkan akses gratis. Lumayan buat nonton konser! Dari sana pula saya dapat gandengan. Hei, jangan munafik. Saya juga tidak tahu, selalu terjebak dalam kesempatan ini. Maaf, bukan nempel sana-sini. Saya ini jomlo. Yang sudah punya pacar saja, terkadang masih berkeliaran mencari sasaran. Saya berkenalan dengan SPG Giordano. Sebut saja Syahnaz. Giordano kerjasama dengan tempat kerja saya. Dipameran PRJ, salah satu SPG Giordano ikut, yang adalah teman saya. Si teman saya inilah, yang adalah temannya si Syahnaz. Maka, berkenalanlah saya saat si Syahnaz datang ke booth untuk mengajak makan temannya. Esoknya, dia datang dan makan Samyang bersama saya atas ajakan saya. Esoknya lagi, kami berjalan-jalan menelusuri hiruk-piruknya PRJ atas kemauan kami berdua. Esoknya lagi, dia mengundang saya untuk mampir ke boothnya. Sayang, hubungan kami berakhir karena saya tidak mau membelikannya pulsa 100rb.

Tibalah detik detik dimana nasib saya digantung antara diperpanjang atau tidak. Sejauh satu tahun waktu itu, saya pikir saya pantas dilanjut. Saya tidak pernah bermasalah karena memang benci dengan masalah itu sendiri. Saya tidak pernah telat! Saya tidak ribet dah pokoknya. Dan saya haruslah diperpanjang karena cicilan motor saya masih tersisa 2 bulan lagi. “Kamu pantas nggak diperpanjang?” tanya seorang atasan. “Menurut saya pantas. Saya merasa tugas saya belum selesai.” Titik. Teman saya, Aji, ditanya begitu malah tunduk kepala. “Saya nggak cocok mas. Saya jarang pameran. Saya mau pulang kampong aja.” Kebetulan Aji sedang berada tepat disamping saya, sikut saya seketika tergerak menghantam perutnya. Akan tetapi, akhirnya kami berdua diperpanjang. Cicilan aman. Lanjut cari muka! Hilih. Buat apa cari muka. Kerja saya sudah benar, tak perlu cari-cari perhatian. Muka saya cukuplah satu. Satu saja banyak yang suka, kok.

Seiring berjalannya waktu, satu persatu senior-senior saya mulai habis kontrak. Sebenarnya bukan masalah karena semua yang ada disini memang akan habis kontrak pada waktunya. Cuma, saya jadi berpikir, lama-lama kok saya jadi lebih ingin melakukan hal lebih, seperti merasa harus lebih bertanggung jawab disini. Kecemasan saya kian memuncak setelah teman satu angkatan saya pergi begitu saja tanpa alasan yang jelas. Saya sendirian. Senior paling tua pun pulang kampong tidak balik-balik. Jadilah saya yang paling lama disini. Percayalah, mau tidak mau, suka tidak suka, apapun permasalahan yang sedang terjadi didivisi itu, ujungnya akan menjadi sebentuk kalimat yang tertuju pada saya. “Gimana seniornya.” Begitu. Biasanya keluar dari mulut-mulut Pembantu.

Dendi, angkatan yang lumayan lama, berbicara. “Kalau butuh apa-apa bilang gue aja. Gue tahu lo kehilangan Aji, teman kerja lo. Jadi, gue bisa kok gantiin Aji. Udah, lo nggak usah galau begitu.”

Kecemasan saya terkubur waktu. Teman-teman baru mulai bisa merangkul. Saya mulai bisa menerima anak-anak baru yang datang satu persatu, memberikannya asupan masukan apa-apa saja yang harus dilakukan dan dijauhkan. Saya sendiri bukanlah yang terbaik. Tidaklah ada satu pun pada suatu bulan saya menjadi the best employee. Karena disini, terbaik itu diukur berdasarkan nominal. Bukan metode yang mencangkup secara keseluruhan dari apa yang seharusnya menjadi jobdesc itu sendiri. Tentu bukan hanya sekadar berjualan, kan?

Lalu kembali saya menangkap tulisan SO dijadwal. Ternyata SO lagi. Terus Cuti kapan? “Ya, nanti.” Beberapa toko ada yang tahun lalu sudah SO. Mungkin bukan dua tahunan. Mungkin, ya suka-suka lah. Persetan hitungan waktu, saya masih antusias menjalani SO. Apalagi tarif-nya naik. Dari sekian menjadi sekian. Tapi, kok saya merasa bosan, ya? Teman-teman SO juga banyak yang berubah mukanya. Bukan berubah, mereka-mereka yang kukenal sudah pada habis kontrak pula. Kecuali bapak-bapak yang memang sudah karyawan tetap. Haduh.

Saya juga mendapat kabar dari rekan kerja saya yang pernah mengikuti pameran PRJ tahun lalu, kalau kami kembali ditempatkan pameran PRJ tahun ini! Antusiasme perihal ini masihlah tinggi dan PRJ masihlah dinanti. Yang membedakan dari tahun lalu, hanyalah beberapa rekan-rekan yang sudah digantikan dengan yang baru. Mereka tak kalah asik. PRJ tetaplah meriah meski semangat kerjaku tak lagi meledak-ledak.

Ditoko pun seperti itu. Semangat kerja saya luntur seiring berjalannya waktu. Saya seperti merasa, apa sih yang saya kejar? Saya merasa tidak punya tujuan. Meski saya masih terikat kontrak, ujungnya tetaplah terputus-putus juga. Ingin rasanya professional, tapi jadi terlihat irasional. Saya pun memaksakan diri melakukan yang terbaik. Hasilnya nihil, tak dapat disembunyikan. Atasan-atasanku protes. Para Pembantu ikut menyerang. Lalu, saya biarkan semuanya mereda dan hilang. Evaluasi diri. Ujungnya, saya jadi sadar, ini bukan tempat terbaik untuk saya yang kurang baik. Tempat tersalah untuk berharap bisa lebih lama disini. Seperti; kita berjuang sepenuh hati untuk seorang wanita, tapi si wanita hanya menjanjikan hubungan selama dua tahun saja.

Dan ketidakbaikanku menjadi terbiasa, lenyap dari pantauan mereka. Saya hidup diambang karyawan biasa-biasa saja. Saldo cuti masih banyak. Saya terima alasan kurang orang dan banyak pameran. Saya terima hak yang menyangkut itu, saya terima karena saya merasa tidak cukup baik untuk memaksa mendapatkannya.

Untuk kisah-kisah yang masih belum sempat saya sampaikan, bisa kalian tanyakan pada rak-rak yang mati itu, ya!

Comments

Popular posts from this blog

Hujan Paling Lama di Dunia

Mengenal Diri Sendiri

Maaf