Selalu Menyakiti Dirinya Sendiri

Tak ada yang lebih pilu memang, menyadari bahwa semestanya  tak hanya diisi olehku seorang. Diantara banyaknya mereka, hanya aku yang diberikan petunjuk untuk paling tidak segera keluar dari permainan bodohnya. Disaat aku berusaha menjaga, perempuan itu malah sibuk menyusun strategi dibelakangku. Bodohnya, aku percaya-percaya saja bahwa dirinya terlihat benar-benar serius denganku meski tidak ada pembicaraan serius tentang sesuatu yang serius.

Menyalahkan diri sendiri tidak merugikan orang lain, kan? Ya, aku, adalah manusia terbodoh yang sering mengabaikan indikasi kebohongan. Aku terlalu terburu-buru percaya saat dirinya menjelaskan sesuatu. Bahkan aku suka bagaimana cara dirinya menghadapiku yang sedang meragu. Sabar, manis dan tampak begitu asli. Lantas aku pun kembali percaya dan pelukan hangat pun tercipta. Semakin hangat hingga begitu erat. Kebohongan pun terlewat begitu saja. Aku terlalu menghargai kebahagiaan yang tengah menyelimuti, ketimbang mempertanyakan keasilannya.

Diantara kesalahan yang telah kuperbuat, mungkin kali ini adalah kesalahan terbesarku. Ah, setiap aku membuat kesalahan pasti selalu kukatakan kesalahan terbesar. Baik, aku ralat. Ini bukan kesalahan. Ini adalah sebuah... kesialan terbodohku, yang menjelma resah dan trauma seperti biasanya, namun lebih berdampak dari sebelumnya; adalah pandanganku terhadap perempuan baik telah sirna. Oke, mereka baik, tapi hanya sebatas yang terlihat saja. Tidak ada kebaikan selain mereka yang pandai menutupinya.

Kadang aku ingin kapok saja menjalani fase-fase yang selalu berujung resah. Namun, selalu ada kisah yang harus aku jalani. Aku pun selalu mencoba tahan diri, berpikir dua kali bahwa sesuatu yang berasal dari hati akan menimbulkan kerusakan dari sana juga. Tak jarang aku memotivasi diri untuk segera pergi sebelum terlalu jauh bermain-main dengan hati. Namun, tak jarang pula aku terjebak dalam rasa nyaman dan perasaan yang hadir tanpa pernah kompromi.

Lalu, apa yang mampu mengakhiri pengulangan ini? Berhenti percaya pada orang lain? Padahal aku kerap kali tidak percaya pada diriku sendiri. Lagipula ini bukan tentang sia-sianya sebuah rasa percaya, ini tentang kepalsuan kasih yang begitu nyata, sebuah pelecehan terhadap perasaan yang sangat dalam. Ah, aku takkan seluka ini jika tidak adanya secercah harap yang kucoba selipkan dalam jiwanya. Menjaga kepercayaan itu sulit, maka saat aku tahu perempuan itu tidak bisa menjaga kepercayaan kekasihnya, tiada yang harus kulakukan selain pergi sejauh-jauhnya.

Tenang, masih ada hal yang harus aku lakukan. Ya, bersyukur. Aku bersyukur karena telah diberikan petunjuk supaya tidak terlalu lama merasakan sebuah kepalsuan. Jika tidak segera terbongkar, kisahku dengannya akan memiliki resiko yang semakin membesar. Maka bisa dipastikan, pedihnya akan semakin mengakar.

Sayang, kamu tidak salah, aku yang salah. Aku salah, selalu membenarkanmu disaat sebenarnya nalarku telah menerka kebodohan yang sedang kamu lakukan. Aku menyayangimu, tapi aku lebih menyayangi diriku sendiri. Salam  hangat dariku, yang ingin kau coba untuk dijadikan kesekian kalinya.

Pesanku, ubah penilaianmu tentang rasa percaya. Berikan perhatianmu secar lebih akan nilai dari suatu rasa percaya. Agar kamu tidak lagi semena-mena, agar tidak ada harapan yang sirna. Agaknya tidak adil ketika rasa percaya seseorang yang begitu murah hati dibalas dengan noda kebohongan yang tidak tahu diri.

Catat, aku tidak marah padamu. Aku hanya marah pada diriku, yang sukanya menyakiti dirinya sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Hujan Paling Lama di Dunia

Mengenal Diri Sendiri

Maaf