Kisah Seorang Kawan: Aku Hanya Ingin Pulang
Hingga
sampai lah aku pada titik kejenuhan yang sebenarnya tidak kuinginkan. Aku ingin pulang, aku rindu rumah. Aku rindu Ibuku,
saudara-saudaraku dan kekasihku yang selalu mengutarakan kerinduannya
ketika malam telah jatuh. Diantara kerinduan itu, kerinduan yang paling
menggetarkan sanubari adalah kerinduan akan sosok Ibu yang semakin hari
semakin merapuhkan pertahananku.
Satu tahun di Jakarta cukup berpengaruh dalam kehidupanku. Selain meningkatkan finansial, wawasan dan jaringan pertemanan juga menjadi luas dari sebelumnya. Jakarta menyenangkan, tapi tidak cukup nyaman untuk tinggal terlalu lama disini. Aku tidak cukup rela jika harus merasakan kesenangan itu tanpa orang-orang yang kusayang. Meski niat awalku kesini memang untuk mengais rezeki, tapi aku tak pernah punya niatan untuk menetap dalam waktu lama disini.
Sore hari itu menjadi momen yang paling menentukan dalam kehidupanku kedepan. Kerjaanku menjadi tidak beres terkait aturan yang telah kulanggar. Aku tidak mengerti pada diriku sendiri yang sedang rapuh dibawah gempuran rindu, sehingga pikiranku menjadi kacau dan melanggar aturan yang tidak seharusnya kulanggar. Ditengah kekacauanku, ada bayangan Ibu yang seketika menyelinap menentramkan kalbu. Kedua mataku seperti menahan sesuatu yang ingin pecah. Dalam nuraniku yang paling dalam, sebuah keputusan penting telah kuambil. Disaat yang sama, kurenungi dan kupertimbangkan dalam-dalam konsekuensinya.
Salah satu resiko tinggal ditanah rantau adalah harus kuat menanggung masalah sendiri. Hanya ada dinding-dinding kamarku yang kini menemani, teman-teman seperjuanganku sedang pergi. Handphoneku terus berdering memunculkan notifikasi pesan grup, menekan dan memojokkanku yang telah melanggar aturan pekerjaan. Aku sebenarnya mampu menahan serangan-serangan itu, mengingat memang itu salahku. Hanya saja, aku seperti menemukan alasan yang tepat untuk pergi. Atau alasan yang tepat untuk pulang ke rumahku. Dan aku telah mengambil keputusan secara bulat dan tidak ada yang bisa mengganggu gugat.
Keesokan harinya aku sudah tiba di salah satu terminal yang ada di Jakarta. Semalam aku sempat menelpon Ibuku bahwa aku akan pulang hari ini. Dia senang sekaligus kaget, aku pun akan menjelaskan semuanya saat aku sudah sampai dirumah nanti. Aku juga menitip pesan kepadanya untuk tidak mengatakan kepulanganku pada Sulis. Ada sedikit kejutan untuk kekasihku yang doa-doa kerinduannya akan segera terkabul itu. Dan kehidupanku yang sebenarnya sebentar lagi akan kembali, aku akan menjadi diriku yang seutuhnya ditanah kelahiranku sendiri bersama orang-orang yang kusayangi.
Terminal bus sedang memasuki jam-jam sibuk. Beberapa bus yang akan membawa orang-orang menuju kepulangan atau kepergiannya berlalu-lalang singgah dan pergi. Setelah bus tujuanku datang, aku dan sekumpulan orang lainnya yang memiliki tujuan yang sama segera naik. Sarana pengabul doa-doa kerinduan itu pun mulai bergerak mengikis jarak antara Jakarta dan kampung halamanku, antara kerinduanku dengan rumah. Kupandangi terus jalanan Ibukota dan merenungi beberapa hal yang telah terjadi selama satu tahun. Jendela bus didepanku bagaikan jendela memori yang akan melepas kepergianku menuju rumah dan mengakhiri petualanganku disini. Selamat tinggal Jakarta. Terima kasih atas kenangan-kenangannya.