Fase Antiklimaks

 

Tidak bisa tidur mengakibatkan banyak hal. Bagi saya, selain kesulitan bangun pada keesokan harinya, tidak bisa tidur juga membuat saya terpaksa melakukan apapun yang sama sekali tidak berguna. Kalau sudah terlampau bingung mau melakukan apa, terkadang saya kembali mengingat masa-masa yang sudah berlalu. Paling tidak sedikit mengingat kembali mantan-mantan ataupun kekasih tak sampai. Mereka punya tempat dan waktunya sendiri untuk dikenang. Dan perjalanan paling jauh saya dalam mengingat sesuatu adalah ketika mengingat masa-masa kecil. 

Bisa dibilang masa terindah dalam hidup adalah masa ketika kita masih menjadi anak-anak. Saya tidak ingat beban apa yang saya rasakan waktu itu selain bermain dan bermain. Begitu indahnya sampai banyak orang yang ingin kembali. Kisah masa kecil kita memang akan tetap menjadi trending topik sepanjang masa, dari kalangan usia remaja hingga lanjut usia. Apalagi jika kita telah banyak kehilangan seseorang yang sempat menemani masa-masa kecil kita.

Dua orang sahabat kecil saya telah pergi. Setidaknya lebih dari satu bisa dikatakan banyak, bukan? Mungkin mereka bukan sahabat sejati saya, mungkin mereka memang diturunkan ke bumi bukan untuk selalu menemani saya sampai tua. Bagi saya, kehilangan seorang sahabat yang telah menemani sejak usia saya masih 3 tahun adalah kehilangan yang benar-benar kehilangan. Rasanya seperti kehilangan saudara saya sendiri. Sedih dan tak menyangka, kedua sahabat baik saya itu sudah terlebih dahulu diculik pasukan Tuhan. Lalu apa kabar kalian?

Sahabat saya yang paling pertama diculik oleh pasukan Tuhan ialah Rengga Adipati. Biasa dipanggil Ega. Kejadiannya sudah sangat lama, kala itu saya masih mengenyami bangku sekolah dasar. Ega yang memiliki sifat aktif membuat Tuhan terburu-buru memanggilnya kembali. Nyawanya dijemput tak terduga ketika dia tengah bersenang-senang bersama layang-layangnya. Yang membuat saya menyesal adalah waktu itu saya sedang marahan. Sebabnya sepele saja, saya tidak diajak main. Yang diajak main adalah Adi, sahabat saya juga, yang sekitar 3 bulan lalu juga ikut-ikutan pergi selamanya bersama Ega.

Ega adalah seorang anak yang kuat. Selama masa kecil saya bermain dengannya, tidak ada peristiwa dia menangis ketika badannya penuh luka karena jatuh. Sekujur tubuhnya penuh dengan koreng, semakin mempertegas bahwa dia anak yang tidak bisa diam dan sangat aktif. Saking kuatnya, dia sempat koma selama hampir satu tahun. Benturan keras antara tulang ekor dan keramik kamar mandi sangatlah sulit ditahan bagi seorang anak-anak seperti Ega, bahkan mungkin orang dewasa. Sudah saya bilang, dia terlalu aktif hingga main layang-layang diatas rumah tetangga lalu tak sengaja menginjak asbes plastik yang kebetulan tepat dibawahnya adalah kamar mandi. Saya ingat, beberapa menit sebelum peristiwa itu terjadi, saya sempat memanggilnya. Namun, dia tidak mendengarnya. Saya kesal, lalu saya pulang saja. Bermain layangan sendirian diatas genteng rumah saya. Tak lama saya mendengar kabar bahwa Ega jatuh dari kamar mandi. Ketika saya turun dari genteng dan keluar rumah, Ega sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Sebelum hari dimana akhirnya Ega meninggal, malamnya dia sempat membaik. Katanya mulai ada indikasi bahwa Ega akan siuman. Saya kasihan melihat sahabat kecil saya itu. Kira-kira apa yang dia rasakan tidur selama hampir satu tahun? Saya yang masih SD kebingungan bagaimana semua itu bekerja. Saya hanya ingin Ega bermain dengan saya lagi, waktu itu.

Sejak saat itu disekitar daerah rumah saya jadi tidak ada yang bermain layang-layang lagi. Berbeda kalau dulu tidak bermain layang-layang lagi karena ada kasus Ega, kalau sekarang karena adanya perkembangan teknologi yang semakin cepat melesat maju. Baguslah jadi semakin sedikit yang bermain layang-layang. Bukan karena apa, setiap kali saya menemui ada layang-layang tengah terbang diatas awan, saya pasti akan mengingat Ega. Meski belakangan ini, saya sudah lama tidak mengenang dan mendoakannya. Wajar, banyak sekali yang harus saya pikirkan sekarang. Jujur, sekarang ini adalah fase terumit versi hidup saya.

Tak cukup sampai situ. Selang beberapa tahun setelah kejadian Ega, saya kembali merasakan kehilangan sahabat kecil saya. Adi, yang sempat merasakan detik-detik terakhir bermain bersama Ega dulu. Dia juga diculik oleh pasukan Tuhan sekitar 3 bulan yang lalu. Rekan-rekan kerja saya sewaktu saya jaga pameran, adalah saksi betapa sulitnya menahan kesedihan ditinggal lagi seorang sahabat. Saat itu semuanya baik-baik saja, saya diperintahkan untuk jaga pameran di AEON Mall Jakarta Garden City. Jujur, beberapa saat setelah mendengar kabar kepergian Adi lewat panggilan whatsapp dari Epin, salah satu sahabat kecil saya juga, saya langsung menahan sesuatu yang ingin pecah, berlari kedalam gudang, lalu kemudian mengeluarkan segalanya. Ditengah deru tangis tak percaya, saya langsung teringat pada Ega, pada sahabat-sahabat saya yang satu per satu pergi meninggalkan saya. Pada kesepian yang semakin sepi, pada kehidupan yang akan datang, yang mungkin akan kurang berwarna tanpa mereka.

Kehilangan Adi semakin sulit diikhlaskan setelah mengingat satu hari sebelum kepergiannya, kami berdua masih asik saja nongkrong membicarakan seputar kehidupan yang kini telah dia usaikan. Pagi itu saya sedang off dan baru saja pulang setelah membeli sarapan. Didepan rumah saya, saya menemukan dia yang sedang kesulitan mengangkat lemari sendirian. Sebagai sahabat yang baik, saya pun buru-buru menaruh sepeda motor saya kedalam rumah dan kembali ketempat dimana dia sedang berusaha mengangkat lemari. Dia tampak senang melihat saya dengan tulus membantu. Sesampainya kami menaruh lemari kedalam rumahnya, saya sama sekali tidak meminta sedikit pun imbalan. Namun, saya tahu sahabat kecil saya itu orangnya tidak begitu saja melupakan orang yang telah menolongnya. Tunggu didepan warung ya, katanya. Saya pun menunggu, ternyata dua gelas es nutrisari rasa jeruk yang sangat segar sudah dipesannya. Pantas saja tadi dia sempat berhenti sejenak tepat didepan warung. Saya tidak punya cukup kekuatan untuk menulis bagaimana Adi bisa meninggal. Intinya, dia pergi disaat yang tidak disangka-sangka.

Dan kini, mereka semua tidak akan pernah tahu kegelisahan saya belakangan ini. Salah satunya terkait masalah kuliah. Sial, saya sudah benar-benar kehilangan hasrat untuk lulus. Entah apa yang membuat rasa kehilangan itu muncul disusul oleh rasa iri pada teman yang sudah melaksanakan tugas akhir. Saya hanya terus berharap supaya masa depan saya baik-baik saja. Sementara saya masih diam ditempat dan kebingungan mencari jalan. Saya benar-benar khawatir akan diri saya dimasa depan. Bahan bakar untuk terus menyalakan semangat kini telah sepenuhnya habis. Tak hanya pasrah menerima apapun hasilnya nanti, saya sungguh memikirkan bagaimana masa depan saya nanti.

Selain itu, kini saya hanya tinggal menghitung bulan lagi untuk tiba pada waktu dimana saya habis kontrak. Habis sudah harapan, sirna sudah cita-cita. Awalnya saya menganggap setelah pekerjaan saya telah memasuki masa habis kontrak, saya akan lulus D3 dan melamar pekerjaan yang lebih baik lagi. Namun apa daya, kenyataan bukanlah harapan. Kenyataan tak selalu menyetujui apa yang kita harapkan. Hanya tinggal menunggu fase kehidupan terbawah. Habis kontrak dan kembali menjadi mahasiswa kampus tak ternama yang kebingungan bagaimana caranya lulus kuliah. Tanpa harapan dan tanpa dua orang sahabat tercinta.

Popular posts from this blog

Hujan Paling Lama di Dunia

Mengenal Diri Sendiri

Maaf